Tuesday 1 March 2011

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (TEORI KAUSALITAS) DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA


A.           Ajaran Kausalitas, pengertian, dan urgensinya
Secara etimologi, Kausalitas atau causalitied berasal dari kata causa yang berarti sebab. [1] Kata Kausa dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan atau dasar hukum; suatu sebab yang dapat menimbulkan suatu kejadian.[2] Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kausalitas merupakan suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan akibat. Dalam ilmu hukum pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikenhadi undang-undang. Penentuan sebab akibat dalam kasus-kasus pidana menjadi persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak petunjuk tentang hubungan sebab dan akibat yang dapat menimbulkan delik. Meskipun dalam beberapa pasal KUHP dijelaskan bahwa dalam delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya.[3]
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori kausalitas, pada bagian ini diperlukan penjelasan tentang tindak pidana berdasarkan cara merumuskannya.  Tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan suatu tikah laku tertentu. Artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutkan perbuatan tertentu yang menjadi pokok larangan. Dalam kaitannya dengan kasus pidana, apabila perbuatan tersebut selesai dilakukan maka dapat disebut sebagai tindak pidana, tanpa memandang  akibat yang ditimbulkan. Misalnya tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP. Apabila pencurian telah selesai dilakukan maka dapat disebut sebagai tindak pidana.[4]   
Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang menitik beratkan pada  larangan timbulnya akibat tertentu atau akibat konstitutif. Meskipun dalam rumusan tindak pidana disebutkan adanya unsur tingkah laku tertentu. Untuk menyelesaikan tindak pidana tidak tergantung pada selesainya perbuatan, akan tetapi tergantung pada akibat terlarang yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Misalnya menghilangkan nyawa pada kasus pembunuhan Pasal 338 KUHP.  Perbuatan menghilangkan nyawa seperti menusuk dengan benda tajam tidak bisa menimbulkan tindak pidana pembunuhan jika korbannya tidak meninggal dunia. Tindakan ini dimasukkan dalam katagori percobaan pembunuhan pasal 338 KUHP.[5] Untuk menimbulkan tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat yang  tak terpisahkan, yaitu terwujudnya tingkah laku, terwujudnya akibat, dan adanya hubungan kausalitas di antara keduanya.
Dalam menentukan adanya sebab yang benar-benar menimbulkan suatu akibat tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas faktor-faktor yang berkaitan dengan peristiwa yang dihadapi. Contohnya, seorang laki-laki mengendarai sepeda motor mendadak menyeberang tanpa memberikan isyarat lampu dan dari arah belakang melaju kencang sebuah mini bus, sopir mini bus yang kaget membunyikan klakson dan menginjak rem sekuat tenaga sehingga tabrakan pun tidak sampai terjadi. Namun, laki-laki tersebut tiba-tiba jatuh dan segera dilarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian, laki-laki ini meninggal dunia karena serangan jantung. Pihak kepolisian menyatakan bahwa kecelakaan yang terjadi akibat pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi peraturan dan sopir minibus dibebaskan.  Namun ahli waris tidak terima terhadap pengehentian penyelidikan dan mengajukan upaya pra peradilan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan bahwa pengehntian penyelidikan tidak sah dan memerintahkan kepada penyidik untuk melanjutkan perkara itu. Hal ini tentunya tidak mudah bagi pengadilan negeri dan penyidik dalam menilai kasus ini.
Berdasarkan ilustrasi di atas, disinilah letak urgensi ajaran kausalitas, yaitu ajaran yang mencari dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang timbul.[6] Selain itu, ajaran ini juga dapat menentukan hubungan antara suatu perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya, yaitu suatu tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan unsur khusus. Unsur ini merupakan akibat dari perbuatan, baik yang bersifat meringankan atau memberatkan. Misalnya pada tindak pidana penganiayaan sebagai bentuk pokok, pasal 351 ayat (1) KUHP. Hukumannya akan menjadi lebih berat jika penganiayaan itu menimbulkan luka berat (pasal 351 ayat (2)) atau kematian (pasal 351 ayat (3)) yang menjadi unsur khusus.
Usaha menentukan hubungan sebab akibat dalam suatu kasus pidana terdapat beberapa teori yang dapat digunakan. Meskipun demikian, tetap harus berpedoman pada falsafah Poset hoc non propter hoc yang menyatakan bahwa suatu peristiwa yang terjadi setelah peristiwa lain belum tentu merupakan akibat dari peristiwa yang mendahuluinya.[7]         
B.            Teori-teori Kausalitas
Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:
1.             Teori Conditio Sine Qua Non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dan mantan presiden Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman.[8] Von Buri mengatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua faktor yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap causa (akibat).[9] Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang sama dan sederajad tidak membedakan faktor syarat dan faktor penyebab.[10] Jika salah satu syarat tidak ada maka akan menimbulkan akibar yang lain pula.[11] Teori ini juga disebut dengan equivalent theori karena setiap syarat nilainya sama dan bedingung theori sebab bagianya tidak ada perbedaan antara syarat dan penyebab.[12] Ajaran ini berimplikasi pada perluasan pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana.
Seperti halnya teori-teori yang lain, teori Von Buri ini memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kelemahan ajaran ini adalah tidak dibedakannya faktor syarat dan faktor penyebab. Dalam ilustrasi kasus di atas, si pengemudi mini bus harus diminta pertanggung jawaban atas kematian pengendara sepeda motor. Padahal bunyi klakson dan suara rem merupakan faktor syarat bukan faktor penyebab. Hal ini dipandang tidak adil sebab tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan pada dirinya. Artinya teori ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonden schuld). Sedangkan kelebihan dari teori ini adalah mudah digunakan dan diterapkan tanpa menimbulkan perdebatan dan pemikiran mendalam untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya.
Pengaut teori Von Buri adalah Van Hammel yang mengatakan bahwa teori Conditio Sine Qua Non satu-satunya teori logis yang dapat dipertahankan. Namun, penggunaannya dalam hukum  pidana harus disertai oleh teori kesalahan. Teori menyatakan tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara sekian banyak faktor dalam suatu peristiwa yang menimbulkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas akibat itu, melainkan apabila perbuatan dirinya terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan atau kealpaan.[13] Pendapat Van Hammel ini dianggap wajar sebab ia adalah pengikut aliran monistis yang tidak memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya ada orang yang mati ditembak orang lain. Menurut teori ini, pejual senjata api, perusahaan senjata api juga bertanggung jawab atas kematian orang tersebut.  Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Prof. Moelyatno tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah benar.[14] Teori ini bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan penyebab. Menurutnya, perbuatan seorang penjual senjata api tidak dapat diterima sebagai penyebab terbunuhnya seseorang yang disamakan dengan perbuatan pembunuhnya. Beliau membedakan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Ajaran tentang kesalahan digunakan apabila terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan pidana. Padahal hubungan kausalitas bertujuan menentukan apakah terdakwa melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak.
2.             Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum).[15] Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini adalah Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada tahun 1885 yang menyatakan bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat dihilangkan, tidak semua dapat digunakan untuk menimbulkan suatu akibat, hanya faktor yang dominan atau kuat pengaruhnyalah yang dapat dijaadikan penyebab timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah bagaimana menentukan faktor yang dominan dalam suatu perkara.[16] Contohnya, faktor serangan jantung yang menjadi faktor dominan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dalam ilutrasi di atas. Dan pengemudi mini bus yang membunyikan klakson tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Karl Binding mengemukakan teori ubergewischts theorie yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor terpenting dan sesuai dengan akibat yang timbul. Dalam suatu peristiwa pidana, akibat terjadi karena faktor yang menyebabkan timbulnya akibat lebih dominan (faktor positif) daripada faktor yang meniadakan akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor sebab adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan memenangkan faktor positif tadi.
Selain dua tokoh di atas, terdapat tokoh lain yang mengemukakan teori individualisir seperti, Teori die art des werden yang dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan akibat. Kemudian teori Letze Bedingung  yang dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa faktor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan. [17]
Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang paling kuat pengaruhnya jika semua faktor sama-sama kuat untuk menimbulkan akibat. atau jika sifat dan corak pengaruh tidak sama dalam rangkaian faktor tidak sama.[18] Kelemahan teori ini juga dapat dipahami dari ilustrasi berikut: A berniat membakar gudang orang lain, lalu ditempatknya kaca pembesar di atas tumpukan jerami sehingga kalau matahari mengenai kaca dapat menimbulkan percikan api yang memicu kebakaran. Berdasarkan teori ini maka A luput dari jerat hukum pidana sebab faktor dominan terakhir adalah sinar matahari yang mengenai kaca pembesar.  Karena persoalan ini kemudian muncullah teori generalisasi.
3.        Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.[19]  Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman umum yang menurut akal dan kewajaran manusia. Persoalannya kemudian bagaimana menentukan sebab yang secara akal dan menurut pandangan umum menimbulkan akibat? Berdasarkan pertanyaan ini kemudian muncul teori Adequat yaitu:[20]
a.         Teori Adequat Subjektif
Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.    
b.        Teori Adequat objectif-nachtraglicher prognose
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu akibat terletak pada faktor objektif yang dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
c.         Teori Adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.
4.        Ajaran Kausalitas dalam Hal Berbuat Pasif
Apabila dilihat dari unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana aktif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang disebabkan oleh perbuatan pasif. Pelaku melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu. Misalnya barangsiapa oleh hukum diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan akan tetapi dia tidak melakukan (pasal 304 KUHP) atau diperintahkan untuk datang tetapi tidak datang (pasal 522 KUHP).
Tindak pidana pasif sendiri masih dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, tindak pidana pasif murni yang merupakan tindak pidana formil yang tidak tergantung pada akibat. Misalnya, pasal 522 menyatakan Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Tidak datangnya saksi yang dimaksud secara sempurna telah menimbulkan delik, tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan.
Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni yang terjadi pada tindak pidana materiil yang mementingkan aspek akibat daripada perbuatan pidananya. Tindak pidana meteriil tertentu bisa saja terjadi meskipun dengan tidak berbuat. Misalnya seorang ibu sengaja tidak menyusui anaknya yang dapat mengakibatkan kematian bagi anaknya tersebut (Pasal 338 KUHP). Persolan yang muncul adalah apakah mungkin tidak berbuat sesuatu dapat menimbulkan akibat? mengenai persoalan ini ada beberapa pandangan:[21]
a.         Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Tidak mungkin adanya hubungan antara akibat dengan tidak melakukan perbuatan. Pandangan ini tidak sejalan dengan pandangan hukum yang mengatur tentang nilai. Dalam kehidupan sehari-hari banyak kejadian pidana yang disebabkan oleh tidak berbuatnya seseorang, dimana menurut rasa keadilan masyarakat perlu diminta pertanggungjawaban. Misal, kecelakaan kereta api yang menewaskan banyak orang.
b.         Pandangan Teori berbuat Lain (theori van het anders doen)
Perbuatan aktif merupakan perbuatan apa yang dilakuakan pada saat terwujudnya akibat terlarang. Misalnya pada kasus kematian bayi karena tidak disusui. Bahwa ibu si bayi dipandang sedang melakukan perbuatan apa pada saat bayinya meninggal. Seperti dia sedang selingkuh. Namun teori ini juga tidak memuaskan, karena tidak ada hubungan antara selingkuh dengan kematian bayi.
c.    Pandangan Teori berbuat Sebelumnya (theori van het voorrafgaande doen)
Yang seharusnya dipandang sebagai sebab dari timbulnya akibat adalah perbuatan yang mendahului pada saat terwujudnya akibat. misalnya seorang penjaga pintu kereta api yang tidak menurunkan palang kereta pada saat kereta akan lewat. Yang menjadi penyebabnya yaitu jabatan petugas penjaga palang kereta diterima sebelum kejadian. Pendapat ini juga tidak memuaskan karena tidak ada hubungan antara penerimaan jabatan dengan kecelakaan.
d.   Pandangan berdasarkan Kewajiban Hukum
Seseorang dalam waktu dan keadaan tertentu diwajibkan oleh hukum untuk melakukan perbuatan. Jika kemudian dia tidak berbuat dan menimbulkan akibat maka sebab dari akibat itu adalah kepemilikan kewajiban hukum tersebut. Teori ini dipelopori oleh Van Hammel yang menyatakan bahwa seseorang tidak berbuat, ia tidak dapat dianggap menyebabkan suatu akibat, apabila aia tidak memiliki kewajiban hukum untuk berbuat. Sebagai upaya mengetahui bahwa seseorang memiliki kewajiban hukum atau tidak, berdasarkan beberapa alasan: (1) pekerjaan atau jabatan (2) ditetapkan oleh hukum (3) kepatutan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. 
5.             Sikap Melawan Hukum
Moelyatno berpendapat bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana. Sebab ia merupakan penilaian objektif terhadap suatu perbuatan. Sikap ini dibedakan menjadi dua yaitu sikap melawan hukum formal, dimana suatu perbuatan dipandang bersifat melawan hukum jika perbuatan diancam pidana dan dirimuskan dalam Undang-Undang dan sikap melawan hukum materiil yaitu suatu perbuatan dipandang melawab hukum bukan hanya karena bertentangan dengan Undang-undang melainkan juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis di masyarakat.


[1] Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, (Malang:Fakultas Syaria UIN Malang,2004), hlm.17
[2] M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya:Realiti Publiser,2009), hlm 326
[3] A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta:Sinar Grafika,2007), hlm.2006
[4] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 213
[5] Ibid, hlm.214
[6] Ibid, hlm.216
[7] Saifullah, Op.Cit. hlm.17
[8] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 218
[9] A. Zainal Abidin Farid, Op.Cit., hlm. 209
[10] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 219
[11] Saifullah, Op.Cit. hlm.18
[12] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar Grafika,2007), hlm.119
[13] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 220
[14] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,Op.Cit., hlm.120
[15] Adami Chazawi, Op.Cit.,hlm.221
[16] Saifullah, Op.Cit. hlm.19
[17] Setia Darma, Teori-Teori Kausalitas, http://setia-ceritahati.blogspot.com/2009/05/teori-teori-kausalitas.html diakses tanggal 23 November 2010
[18] A. Zainal Abidin Farid,Op.Cit, hlm. 210
[19] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 222
[20] A. Zainal Abidin Farid,Op.Cit, hlm. 211
[21] Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 228-229

1 comment:

  1. kita juga punya nih artikel mengenai 'Kausalitas', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3137/1/PESAT20200520_ekonomi_002.pdf
    trimakasih
    semoga bermanfaat

    ReplyDelete