Thursday 10 March 2011

JUDICIAL REVIEW SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM SECARA KONSTITUSI


JUDICIAL REVIEW SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM SECARA KONSTITUSI
Oleh: Ramadhita (07210011)
Pemberhentian Hendarman Supandji dari jabatan Jaksa Agung oleh Presiden merupakan dampak dari dikabulkannya judicial review atas masa Jabatan Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi. Persoalan ini sempat menjadi sebuah isu kontroversial dalam ranah hukum ketatanegaraan.  Uji materi atau judicial review sebanarnya bukan merupakan persoalan baru dalam disiplin ilmu hukum ketatanegaraan. Secara historis Uji Materi atau judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat  melalui  putusan  Supreme  Court  Amerika  Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada 1803. Meskipun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan  yang  mengejutkan.  Chief  Justice  John  Marshall didukung empat hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum dibanyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang  Federal  maupun  undang-undang  negara bagian  yang  dinyatakan  bertentangan  dengan  konstitusi.[1]
Menurut Ishaq, Suatu Undang-Undang diberlakukan berdasarkan sejumlah asas, salah satunya adalah asas Undang-Undang tidak bisa diganggu gugat.[2] Asas ini seolah bertentangan dengan praktik ketatanegaraan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konsitusi. Sedangkan Hakim Konstitusi, sebagaimana hakim-hakim yang lain dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa  hukum  tidak  ada  atau  kurang  jelas.[3] Berdasarkan persoalan di atas muncul pertanyaan, bolehkah dilakukan uji materi terhadap Undang-Undang yang telah berlaku? Apakah Mahkamah Konstitusi secara ketatanegaraan memiliki wewenang melakukan judicial review terhadap Undang-Undang?
Reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 merupakan titik tolak penting dalam upaya penegakan hukum yang sebenarnya di Indonesia. Terciptanya Good Govermance dalam menyelenggarakan kekuasaan negara dan peradilan yang independen merupakan salah satu motivasi dasar dari gerakan ini. Reformasi juga menuntut adanya desakralisasi terhadap konstitusi negara dan produk-produk perundang-undangan yang ada dibawahnya. Sebagai upaya desakralisasii Undang-Undang Dasar adalah dilakukanya amandemen. Ada beberapa persoalan mendasar sebagai alasan amandemen, pertama dominasi presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam menjalankan tugasnya. Selain menjalankan fungsi eksekutif, presiden diberikan wewenang untuk membentuk undang-undang. Kedua, tidak adanya check and balances antar lembaga negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Terlebih Undang-Undang Dasar 1945 meligitimasi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara karena dipandang sebagai lembaga yang menjalankan kedaulatan negara. Ketiga, terdapat aturan-aturan yang tidak jelas dan multi tafsir. Misalnya klausul yang menyatakan bahwa presiden dapat dipilih kembali tanpa memberikan batas waktu atau berapa kali periode.[4] Persoalan-persoalan di atas, dapat menghambat adanya penegakan hukum.
Empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 membawa dampak yang signifikan dalam ranah ketatanegaraan di Indonesia. Semua lembaga negara yang ada diberikan kedudukan yang sama dan dapat melakukan check and balances. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara melainkan hanya lembaga tinggi negara yang kedudukannya sama dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan pelasanaan kedaulatan negara berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar.[5] Sebagai salah satu negara yang menganut sistem civil law, penegakan hukum di Indonesia harus didasarkan pada aturan perundang-undangan yang ada. Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 juga berimplikasi terhadap prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan. Setelah amandemen, Undang-Undang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas persetujuan presiden. Meskipun usulan rancangan Undang-Undang bisa dari presiden dan DPR, DPR, atau presiden saja.[6] Hal ini menunjukkan adanya check and ballances dalam melaksanakan kekuasaan yang diberikan oleh negara. Apabila Undang-Undang telah dimuat dalam lembar negara dan telah dimuat dalam berita negara maka Undang-Undang tersebut dipandang sah dan berlaku.[7]  
Sebelum amandemen UUD 1945, Undang-Undang yang telah diberlakukan, secara normatif tidak bisa diganggu gugat dan wajib dilaksanakan oleh semua golongan, baik penyelenggara kekuasaan negara maupun rakyat. Hal ini merupakan asas yang melekat pada setiap undang-undang yang ada. Undang-Undang akan tetap berlaku meskipun substansinya bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak ada suatu pengadilan tertinggi yang berhak menyatakan tidak sah dan tidak berlaku. Jika terdapat persoalan pada substansi Undang-Undang, hanya lembaga pembuat undang-undang yang memiliki wewenang untuk melakukan uji materi. Dan dalam konteks tata negara Indonesia DPR-lah yang memiliki wewenang untuk melakukan uji materi.[8] Akan tetapi, legislative review dipandang kurang efektif karena sangat tergantung pada kehendak lembaga legislatif untuk mengkaji kembali substansi dari suatu Undang-Undang. Sedangkan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan yudisial hanya berwenang untuk melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undang di bawah Undang-Undang.[9]
Pembentukan suatu lembaga yang secara khusus berwenang melakukan uji materi terhadap Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi salah satu tema pembahasan dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan ini muncul atas desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Dan kewenangan itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung.[10] Gagasan ini juga muncul sebagai respon atas sejumlah aturan perundang-undangan, termasuk produk Undang-Undang yang secara substansi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi bahkan Undang-Undang Dasar, namun tidak ada lembaga atau mekanisme pengujian yang efektif melalui lembaga yudisial (judicial review).[11]
Sebagai hasil pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis dari tema di atas, terbentuklah Mahkamah Konstitusi sebagai dampak disahkannya pasal 24 ayat (2) dan pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945.  Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan  bahwa  pelaksanaan  aturan  konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional  court,  atau  pengawasan  konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa.[12]
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dikemukakan oleh Prof. Muhammad Yamin pada saat pembahasan rancangan UUD 1945. Namun, gagasan ini ditolak oleh Prof. Soepomo yang menyatakan bahwa keberadaan MK tidak sesuai dengan nalar berfikir UUD dan prinsip supremasi parlemen yang menempatkan MPR sebagai tertinggi negara. Tugas hakim menurut Soepomo adalah melaksanakan Undang-Undang bukan menguji Undang-Undang. [13]
Sebagai lembaga yang baru terbentuk. MK diberikan kedudukan  sejajar  oleh konstitusi dengan  lembaga-lembaga  lainnya. MK diposisikan sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan yudikatif yang setara dengan Mahkamah Agung. Otoritas khusus yang diberikan  kepada MK adalah menjadi pengawal konstitusi.[14] Hal ini memiliki arti bahwa MK bertugas menegakkan  hukum  dan  keadilan berdasarkan konstitusi bukan sebagai lembaga tertinggi negara.
Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2), antara lain:
(1)   Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)   Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.  
Meskipun telah mendapat legitimasi dari UUD 1945, Mahkamah Konstitusi belum bisa menjalankan tugas dan wewenangnya secara maksimal. Regulasi yang berkaitan dengan tata cara pelaksaan tugas dan wewenangnya (hukum formil) belum dibentuk. Baru pada tahun 2003 dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai sandaran formil pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi.   
Munculnya aturan-aturan di atas, baik formil maupun materiil berlakulah asas lex specialis derogat lex generalis. Artinya secara normatif MK dijadikan sebagai lembaga khusus yang bertugas melakukan review terhadap Undang-Undang dan mengesampingkan lembaga-lembaga negara lain yang juga memiliki wewenang yang sama, seperti DPR. meskipun demikian, Mahkamah Agung tetap memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Sebagai sebuah kesimpulan, Asas Undang-Undang tidak bisa diganggu gugat tetap berlaku selama Undang-Undang tersebut tidak bertentangan dengan UUD sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Jika terdapat pertentangan antara substansi Undang-Undang dengan substansi Undang-Undang Dasar diperlukan adanya uji materi oleh lembaga yang diberikan kuasa terhadap persoalan tersebut, baik legislatif sebagai pembuat Undang-Undang atau lembaga yudikatif sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Atau dengan kata lain, suatu Undang-Undang dapat di review jika bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dan keadilan sosial.
Fungsi pengujian  undang-undang  itu  tidak  dapat  lagi  dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Kemunculan MK sebagai lembaga tinggi negara yang khusus melakukan judicial review terhadap Undang-Undang tidak bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia. Indikator pelanggaran sistem ketatanegaraan berada dalam UUD sebagai konstitusi suatu negara. Melalui pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi mendapatkan sandaran yang kuat. Hal ini menunjukkan adanya dukungan konstitusi terhadap keberadaan serta tugas dan wewenang MK.
Wallahu a’lam bi al-shawab


[1] Janedjri M. Gaffar, KeduduKan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam sistem Ketatanegaraan RepubliK Indonesia, www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakes tanggal 10 Oktober 2010
[2] Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta,Sinar Grafika,2008), hlm. 96
[3] Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembar Negara Tahun 2009 Nomor 157
[4] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta:Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 168-170
[5] Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
[6] Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan LN Tahun 2004 Nomor 53
[7] Ishaq, Op.Cit., hlm. 101 lihat juga pasal 45 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan
[8]Muhammad Mahfud MD., Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan sesudah Perubahan, http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahWeb&id=1&aw=1&ak=11, diakses tanggal 10 Oktober 2010
[9] Kewenangan ini berdasarkan Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekusaan kehakiman. Namun, menurut Mahfud MD ketentuan ini tidak pernah bisa dilaksanakan karena mengandung cacat teoritis. Moh. Mahfud MD., Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahWeb&id=1&aw=1&ak=11, diakses tanggal 10 Oktober 2010
[10] Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 454
[11] Muhammad Mahfud MD., Op.Cit.
[12] Janedjri M. Gaffar, Op.Cit
[13] ibid
[14] ibid

No comments:

Post a Comment