Tuesday 1 March 2011

TRANSFORMASI AJARAN SEDEKAH MELALUI TRADISI SLAMETAN


Manusia sejak dilahirkan telah dibentuk menjadi makhluk yang memiliki peran ganda. Sebab, selain memiliki keinginan menjadi makhluk individu, manusia sekaligus dibentuk menjadi makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dari orang lain. Peran serta orang lain dalam kehidupan seseorang, merupakan akibat dari perbedaan kepentingan dan kebutuhan dari masing-masing individu. Persamaan terhadap tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan, merupakan salah satu faktor bagi sejumlah indivudu untuk membentuk suatu komunitas atau kelompok sosial. Dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, dilakukan proses interaksi sosial, baik antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.
Setiap komunitas yang terbentuk, tentu akan merumuskan sebuah sistem nilai yang mengatur dan mengikat bagi anggota-anggotanya. Sistem nilai yang telah dilaksanakan secara berulang-ulang dan dijaga eksistensinya secara turun temurun akan menjadi tradisi. Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dl masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yg telah ada merupakan yg paling baik dan benar.[1]
Perkembangan zaman akan membawa perubahan-perubahan terhadap pola interaksi sosial. Dalam melakukan aktivitasnya, manusia tidak lagi menjalin hubungan dengan masyarakat wilayah lokal saja, melainkan juga telah menjalin hubungan dengan masyarakat luar. Implikasi dari perilaku ini adalah masuknya budaya-budaya baru yang terkadang bersinggungan dengan nilai-nilai adat. Hal ini tentunya menimbukan sikap beragam dari masyarakat adat sendiri, jika nilai-nilai baru tersebut sesuai dengan apa yang diyakininya maka terjadi akulturasi budaya, namun tidak jarang terjadi penolakan tegas terhadap nilai-nilai baru tersebut karena dipandang bertentangan dengan adat istiadat yang mereka yakini selama ini.
Pulau Jawa sebagai salah satu pulau besar di Indonesia, memiliki jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang tinggi. Luas pulau ini 138.793,6 km2 dengan penduduk sekitar 124 juta jiwa (kepadatan 979 jiwa per km2). Penduduk Pulau Jawa sebagian besar adalah suku Jawa dan suku Sunda. Suku Sunda terutama bermukim di sisi barat Pulau Jawa, sementara suku Jawa bermukim di sebelah tengah dan timur. Di sebelah barat Pulau Jawa, banyak juga kantong-kantong komunitas suku Jawa atau suku bangsa yang berbahasa Jawa. Sedangkan di tengah pulau Jawa ditemukan pula kantong-kantong komunitas suku Sunda atau suku bangsa yang berbahasa Sunda, terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap. Selain itu ada pula suku Madura, dan suku Bali di Jawa Timur dan suku Betawi di sebelah barat Jawa di kota Jakarta dan sekitarnya.[2]
Suku Jawa sendiri merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger. [3]
Sebagai salah satu suku terbesar, suku Jawa sendiri memiliki kekayaan khazanah budaya yang beragam, baik bahasa, seni, dan norma-norma kehidupan. Sebagai contoh khazanah budaya yang ada yaitu tradisi Grebeg Suro, Grebeg Maulid, Sekatenan, Upacara Perkawinan, tradisi slametan dan masih banyak tradisi-tradisi yang lain. 
Tradisi ini telah mengalami perubahan dan modifikasi dengan nilai-nilai di luar adat Jawa melalui proses yang sangat panjang. Jacques Duchesne Guillemin dengan teori “tradisi besar” (grand tradition) dengan tradisi kecil (little tradition)-nya menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang menjadi cita-cita religius dari agama dengan tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yang kreatif antara nilai universal dari agama dengan budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran agama dalam kesatuan spiritual dengan corak budaya yang ragam (unity and diversity).[4]
Pembahasan terhadap perubahan nilai-nilai tradisi, seperti pada konsep sedekah dalam slametan  tidak bisa dilepaskan dari perubahan sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa. Sebab sejarah tentang kepercayaan memiliki usia setua dengan eksistensi manusia yang mempercayainya. Pembahasan ini menjadi penting karena membahas  tradisi erat kaitannya dengan keyakinan dan nilai. Berdasarkan hal ini seringkali tradisi muncul karena berdasar keyakinan dan nilai.[5]
Situasi kehidupan keagamaan masyarakat di tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan luar maupun kepercayaan asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Animisme adalah aliran (doktrin) kepercayaan yang mempercayai realitas (eksistensi, maujud) jiwa (roh) sebagai daya kekuatan yang luar biasa yang bersemayam secara mempribadi di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segala yang ada di alam raya ini. Dengan kepercayaan ini muncul penyembahan pada ruh nenek-moyang (ancestor worship). Implikasi dari ajaran ini adalah munculnya tradisi dan ritual untuk menghormati ruh nenek-moyang melalui sesaji dan slametan. Tujuan ritual ini adalah sebagai wujud permohonan pada ruh leluhur untuk memberikan keselamatan bagi para keturunannya yang masih hidup.
Sementara dinamisme atau dinamistik adalah doktrin kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam mempunyai kekuatan keramat atau kesaktian Eksistensi kekuatan benda-benda tersebut dipercayai dapat menolong dan dapat mencelakakan manusia seperti pageblug (penderitaan, musibah) yang dapat mengancam eksistensi manusia. Benda-benda yang memiliki kekuatan magis seperti keris, tombak, dan senjata lainnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.[6] 
Masuknya ajaran Hindu dan Budha ternyata tidak menghapus agama asli masyarakat Jawa. Agama asli tidak punah, tetapi justru menemukan  bentuk dan tempatnya yang lebih baik bagi perkembangan keyakinan tersebut. Walau demikian,  Hindu-Budha memberikan konsep baru dengan mentranformasikan keyakinan masyarakat akan kekuatan pada benda-benda dan ruh menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja. Raja dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari kosep ini muncullah budaya untuk patuh pada raja.[7]
Fase perkembangan berikutnya adalah transformasi keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Proses transformasi ajaran Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran Walisongo sebagai juru dakwah dan guru tarekat. Kata wali berasal dari bahasa Arab wala atau waliya yang berarti Qaraba yaitu dekat. Dalam Al-Quran Istilah ini dipakai dengan pengetian kerabat, teman, atau pelindung sebagaimana ditemukan dalam beberapa ayat.
Q.S. Yunus [10]:62
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 257
Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Menurut pandangan yang berkembang dalam tradisi masyarakat Jawa, perkataan wali menjadi sebutan bagi orang yang dianggap keramat karena dipandang memiliki kedekatan dengan sang pencipta dan diyakini memperoleh tenaga-tenaga gaib.[8] Sedangkan kata songo bermakna sembilan. Meskipun demikian, jumlah para wali yang dijuliki walisongo tidak seperti makna letterlijk-nya. Menurut Prof. K.H.R. Moh. Adnan kata songo merupakan perubahan atau kerancuan dari pengucapan kata sana yang berasal dari bahasa arab yaitu tsana’ yang berarti mulia. Pendapat ini didukung oleh R. Tanojo akan tetapi ia memberikan definisi yang berbeda. Menurutnya kata sana berasal dari bahasa Jawa kuno, yang memiliki arti tempat, daerah, atau wilayah. Dengan interpretasi ini, wali sana memiliki makna wali bagi suatu tempat, penguasa daerah, atau penguasa wilayah. Interpretasi ini dipandang wajar, sebab jika mengacu pada fakta sejarah bahwa sejumlah wali memegang kekuasaan pemerintahan, seperti Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati.
Walisongo yang selama ini dikenal oleh masyarakat luas, terdiri dari Maulana Malik Ibrahim yang berdakwah di daerah Gresik, Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang mengajarkan agama Islam di Ampel Denta (wilayah Surabaya saat ini), Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang yang berdakwah di wilayah Tuban, Masaih Munat atau Sunan Drajad, Raden Syahid atau Sunan Kalijaga yang menyebarkan ajaran Islam di wilayah Jawa Tengah, Raden Paku atau Sunan Giri, Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Muria, dan Raden Fatahillah atau Sunan Gunung Jati di wilayah Jawa Barat. Meskipun demikian, masih banyak nama-nama lain yang mendapat julukan wali atau sunan yang turut serta dalam menyebarkan ajaran agama Islam  
Metode dakwah yang digunakan oleh walisongo berpedoman pada Q.S. An-Nahl [16]: 125 yang menekankan pada aspek hikmah wa mau’izhatul hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan. Penerepan metode dakwah disesuaikan dengan status sosial seseorang. Transformasi ajaran agama Islam dikalangan bangsawan atau raja digunakan metode mau’izhatul hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan.[9] Sebab, umumnya kalangan ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik. Seperti upaya Sunan Kalijaga mengislamkan Adipati Pandanarang di Semarang.[10] Berbeda halnya jika yang dihadapi adalah masyarakat awam, para wali menggunkan metode al-hikmah, yaitu jalan dakwah melalui kenijaksanaan yang diselenggarakan secara populer, atraktif dan sensasional. Seperti Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya yang diadakan di Masjid Agung.[11]
Dari paparan di atas, tidak terlihat adanya benturan antara budaya Jawa dengan nilai-nilai universal yang dibawa oleh Islam. Transformasi ajaran Islam pada perkembanganya didukung oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Prof. Dr. Simuh menyatakan bahwa para penyebar Islam umumnya adalah seorang sufi yang tidak tertarik akan kekuasaan atau bahkan merebut kekuasaan dari tangan raja-raja Jawa. Sedangkan para raja, membutuhkan dukungan dari rakyat yang notabene memeluk agama Islam.[12]  Islam Jawa pada saat itu bercorak tasawuf. Sementara itu, pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya bercorak mistik sehingga pandangan Islam yang bercorak tasawuf ini sejalan dengan keyakinan mereka.
Selain itu, dalam mengembangkan ajaran Islam, para wali tidak mengganti budaya masyarakat secara total, akan tetapi selama tradisi yang ada dipandang masih sejalan dengan ajaran Islam maka tetap dipertahankan tentunya dengan berbagai modifikasi. Dua hal ini menjadikan Islam sebagai agama yang mudah dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa pada saat itu. Parsons dengan Teori Principle of Integration sebagaimana didukung oleh Kroeber menyatakan, suatu kompleks unsur-unsur asing seluruhnya dapat diterima hanya bila kompleks unsur-unsur itu dapat disesuaikan dengan bentuk tingkah laku yang lama dan cocok dengan sikap-sikap emosional yang sudah ada.[13]
Salah satu tradisi yang diadopsi oleh penyebar Islam di tanah Jawa dan eksistensinya masih terlihat hingga saat ini adalah Slametan. Tradisi ini juga dikenal dengan nama kenduri, genduren, atau bancakan. Tradisi ini berasal dari kata  slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Tradisi ini merupakan kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari  tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (tolak balak). 
Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan,  ngupati  (slametan  mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan),  puputan  (lepas  pusar), tingkeban (slametan mendoakan bayi yang berumur 7 bulan), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik seperti bersih desa,  resik kubur, dan lainnya.[14]
Menurut Pamberton, praktik slametan yang identik dengan  sajen (sesaji), dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Atau dengan kata lain pendekatan melalui slametan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Tujuan sajen adalah untuk keselamatan dan menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat. Uniknya warga desa mendatangi slametan tidak hanya bertujuan menciptakan kebersamaan, akan tetapi dibalik itu semua, ada keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat).
Ajaran Hindu dan Budha ternyata tidak menghapus tradisi slemetan pada masyarakat Jawa. Hindu-Budha memberikan konsep baru dengan merubah konsep sesaji yang semula bertujuan menghormati ruh nenek moyang tau benda-benda keramat dialihkan untuk menghormati dewa-dewa dan ruh raja-raja. Potret budaya ini kemudian diadopsi oleh para penyebar agama Islam (walisongo) namun mengalami rekonstruksi tata cara, nilai dan makna.
Slametan dalam konteks ajaran Islam berasal dari bahasa Arab salama – salaman –  salamatan berarti selamat, bebas, menerima, rela, puas, tunduk, patuh, menyerahkan.[15]
QS. Al-A’raf [7]: 46 menyebutkan:
dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raaf itu ada orang-orang yang Mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. dan mereka menyeru penduduk surga: "Salaamun 'alaikum[544]". mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).
Maksud dari kata  Salaamun 'alaikum pada ayat di atas adalah mudah-mudahan Allah melimpahkan Kesejahteraan atas kamu. Quraish Shihab menjelaskan kata  salam  berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan aib. Kata  selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau kecelakaan.  Salam atau damai yang demikian adalah “damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau kesuksesan. Kedamaian, keamanan, dan kesentausaan adalah cita-cita dan tujuan setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, Allah mengajak hamba-Nya ke negeri yang damai (dar al-salam) (Q.S. Yunus [10]: 25).
Allah sendiri adalah pangkalan kedamaian, keselamatan, dan kesentausaan (QS. Al-Hasyr [59]: 23). Tanpa adanya al-Salam (Allah) atau tanpa  salam (kedamaian jiwa manusia), maka semuanya akan kacau, rusak, bahkan kehidupan akan berhenti. Dari keyakinan akan keesaan Tuhan, pada gilirannya melahirkan kedamaian dan ketentraman. Sebaliknya, pelanggaran dan pengingkaran pada Tuhan akan melahirkan kekacauan, ketidakpastian, kegelisahan, dan ketakutan.
Rekontruksi yang dilakukan oleh para penyeru agama Islam di Jawa dalam konteks tradisi slametan terdiri dari beberapa aspek, antara lain:
1.             Perubahan Orientasi Penyembahan dan Tujuan
Perubahan signifikan yang dilakukan oleh ajaran Islam adalah perubahan sitem keagamaan,[16] yaitu beralihnya konsep politheisme menuju konsep monotheisme. Islam berusaha menghapus kepercayaan pada dewa-dewa yang diyakini memiliki heirarki kekuasaan dan memasukan sebuah nilai baru yaitu ke-esaan Allah SWT. (tauhidullah) yang menjadi inti utama ajaran Islam.
 Q.S. Al-Ikhlash [112]: 1-4 menyatakan:
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Pada ayat yang lain disebutkan:
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz-Dzariyat [51]:56)
Ajaran-ajaran inilah yang ingin ditransformasikan pada masyarakat Jawa saat itu melalui tradisi slametan. Tuhan sebagaimana yang dikonsepsikan dalam al-Quran, yakni sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur kehidupan berbeda dengan pemahaman masyarakat Jawa pra-Islam, (terutama pada jaman primitif), Mereka percaya adanya kekuatan-kekuatan lain selain dirinya. Kekuatan di luar dirinya dinyatakan sebagai Tuhan, termasuk ruh nenek-moyang, kekuatan magis benda, dan lain sebagainya, yang di dalam Islam adalah sebagai makhluk Tuhan.
Islam menganjurkan pemeluknya untuk mempercayai hal-hal  ghaib (hal-hal yang kasat mata), seperti jin, malaikat, roh, dan makhluk ghaib  lain. Makhluk-makhluk  ghaib sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an memiliki potensi (kemampuan) tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh jenis makhluk lainnya. Akan tetapi, kepercayaan dan  keimanan tersebut menandaskan bahwa potensi (kekuatan) tersebut adalah potensi pemberian Allah, Tuhan semesta alam. Dengan kata lain, tidak ada kekuatan apapun jika tidak diberi oleh Allah.
Q.S. Al-Baqarah [2]:2-3 menyatakan bahwa:
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Penghargaan sesama makhluk diperbolehkan selagi tidak menjurus pada penuhanan (menjadikan Tuhan). Sesama manusia dianjurkan saling menghargai dan dilarang menyakiti. Demikian juga terhadap makhluk lain, termasuk kepada hewan, bahkan makhluk  ghaib lain.
Konsep slametan pra-Islam diwarnai dengan perilaku syirik atau menuhankan sesuatu selain Allah SWT. Seperti slametan di bawah pohon besar yang dianggap keramat, di depan candi, di tempat-tempat lain yang di pandang sebagai dhanyangan desa. Doa yang dibacapun berupa mantra-mantra yang diyakini mampu mendatangkan keselamatan atau menolak kejelekan.
Praktik seperti ini juga disadari oleh para penyeru Islam, dengan kondisi keagamaan masyarakat Jawa yang kental akan adat dan tradisi, pelarangan secara tegas prajtik khurafat akan memunculkan reaksi penolakan terhadap ajaran Islam. Perubahan dilakukan secara perlahan, mulai dari tempat dilaksanakannya slametan hingga bacaan yang dilafalkan di dalamnya.
Slametan tidak lagi bertujuan menyembah roh nenek moyang, batu, pohon, keris, tempat-tempat atau benda-benda keramat lainnya. Akan tetapi, secara signifikan slametan dijadikan sarana menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT. sekaligus mengajarkan umat Islam Jawa akan kedekatan sang pencipta terhadap hamba-hambanya yang miminta. Sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Mu’min [40]:
dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".
Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:186 dijelaskan:
dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Doa yang diucapkan pada slametan tidak lagi berupa mantra-mantra, akan mulai di arahkan pada doa-doa yang diajarkan dalam Islam meskipun menggunakan bahasa Jawa
2.             Masuknya ajaran shadaqah dalam tradisi slametan
Shadaqah dan Tala Bala Ada dua term penting dalam subbab ini yang perlu diuraikan, yakni term shadaqah dan tala bala’. Shadaqah berasal dari kata  shadaqa – yasduqu – shidqan, shadaqah, yang berarti nyata, benar, persahabatan. Secara terminologis,  shadaqah  adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain dengan tanpa pamrih apa-apa kecuali karena “persahabatan” dan  ridha Allah. Pemberian shadaqah didasarkan pada ketulusan hati dan keihlasan. Hal ini terutama shadaqah diberikan kepada orang yang tepat (yang paling sangat membutuhkan). Sementara itu, term kedua  tala bala’, berasal dari kata tala, dan bala’, artinya adalah mencegah musibah, kemadharatan.
Seringkali shadaqah dihubungkan dengan tala bala. Istilah shadaqah juga terkadang dihubungkan dengan istilah  syukuran. Hal ini karena dalam acara  syukuran seringkali dihidangkan berbagai makanan sebagai sedekah (shadaqah). Memang shadaqah tidak terbatas pada pemberian yang sifatnya materi, tetapi juga imateri seperti mendoakan, ramah, senyum, dan lainnya.
Shadaqah menjadi salah satu aspek penting dalam ajaran Islam. Adanya anjuran menjalankan ajaran ini telah tercantum dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana terdapat dalam Q.S. At-Taubah [9]: 60 yang artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
Dilanjutkan dengan Q.S. At-Taubah [9]: 103 yang menyatakan tujuan shadaqah termasuk juga zakat adalah untuk membersihkan harta dari unsur-unsur keharamannya.
ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Disisi yang lain, Islam mengajarkan bahwa pada setiap harta yang kita miliki ada bagian dari orang lain yang wajib untuk diberikan. Sebagaimana terdapat dalam Q.S. Adz-Zariyat [51]:19 yang menyatakan:
dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Berdasarkan ajaran ini, para penyeru Islam termasuk Walisongo memberikan nilai-nilai baru dalam tradisi slametan. Sebelum kedatangan Islam, setiap kali dilakukan slametan bisa dipastikan terdapat makanan berupa nasi lengkap dengan lauknya, bahkan terkesan komposisinya terkesah mewah. Meskipun demikian, hidangan ini tidak dibagikan kepada masyarakat yang mengikuti acara tersebut, karena takut terkena murka roh nenek moyang atau kekuatan ghaib yang ada pada suatu benda. Konsep ini kemudian direkonstruksi, hidangan yang ada pada saat acara slametan boleh dibagikan kepada masyarakat dengan tujuan sedekah.  
Selain itu, mereka (para penyeru agama Islam) memberikan pemahaman-pemahaman secara bertahan akan pentingnya bersedekah. Terlebih Islam sendiri meyakini bahwa dengan bersedekah maka akan mendatangkan rizki yang melimpah baik berupa harta maupun keselamatan dari bahaya.
Metode transformasi berdoa dan bersedekah dalam ajaran Islam melalui tradisi slametan merupakan sebuah model dialektikan antara ajaran agama Islam yang tercantum dalam Al-Quran dan Al-Hadits dengan tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang telah mengenal sejumlah agama dan kepercayaan sebelum kedatangan Islam. Salah satu model dialektika yang ditawarkan oleh Dr. Ali Shodokin adalah metode Taghyir (adoptive-reconstruktif).[17]  Menurut metode ini, Al-Quran mengadopsi tradisi-tradisi yang ada pada suatu sistem adat masyarakat tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakternya. Hal ini disebut juga bisa disebut dengan enkulturasi, yaitu proses pembudayaan nilai-nilai baru ke dalam suatu masyarakat yang sudah memiliki adat istiadat. Nilai-nilai tersebut ditransformasikan dengan menggunakan adat sebagai medianya.[18]   
Jika teori ini digunakan untuk menganalisis persoalan di atas, ada tiga tahapan yang ditempuh dalam mensintesikan ajaran Islam dalam tradisi slametan masyarakat Jawa. Pertama, tahapan sosialisasi, yaitu menjelaskan bagaimana Al-Quran mengenalkan nilai-nilai baru dalam masyarakat melalui pemahaman dan pengahayatan. Pada fase ini, dimungkinkan adanya dialog dengan seluruh komponen masyarakat tentang ajaran tauhid dan sedekah melalui media pendidikan, seperti pesantren atau media seni seperti wayang.
Kedua, tahap asimilasi, yaitu proses dimana Al-Quran mulai mengubah tradisi berdasarkan nilai-nilai yang dikandungnya. Misalnya dalam konteks tradisi slametan, doa-doa yang dilafadkan tidak lagi berupa mantra akan tetapi sudah mengandung unsur-unsur penyembahan kepada Allah SWT. semata.
Ketiga, tahap  integrasi, yaitu hasil akhir berupa perpaduan antara nilai-nilai Al-Quran dengan tradisi yang sudah ada. Eksistensi tradisi slametan saat ini masih dilakukan oleh sebagain masyarakat Islam sebagai upaya penyembahan serta bentuk permintaan kepada Allah SWT. Selain itu, pada praktiknya diharapkan tidak ada lagi unsur-unsur syirik 
Sebagai sebuah kesimpulan, tradisi  slametan berakar dari budaya asli Jawa (animisme dan dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan persuasi sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu (animisme-dinamis, Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma masyarakat Jawa. Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.
Tradisi ini dipotret kemudian direkonstruksi agar sesuai dengan konsep-konsep dasar ajaran agama Islam. Hal ini dipandang sebagai dialektika antara Al-Quran dan tradisi Jawa menggunakan metode Taghyir. Tujuan akhir dari penerapan metode ini adalah untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam bi al-shawab


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia,(Jakarta:Pusat Bahasa,2008),1727
[2] Jawa, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa, diakses tanggal 25 Desember 2010
[3] Suku Jawa, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa,  diakses tanggal 25 Desember 2010
[4] Ridwan, Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, Jurnal Ibda` Vol. 6 No. 1 Jan-Jun 2008, hlm. 1
[5] Suwito N.S., Slametan dalam Kosmologi Jawa:  Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa, Jurnal Ibda` Vol. 5 No. 1  Jan-Jun 2007, hlm. 2
[6] ibid
[7] Ibid., hlm. 3
[8] Widji Saksono, Mengislamkan Jawa Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung:Mizan,1996), hlm.18
[9] Ibid., hlm. 87
[10] Ibid., hlm. 90
[11] Ibid., hlm. 91
[12] Simuh, Keunikan Interaksi  Islam dan Budaya Jawa, dapat dilihat di http://www.heritageofjava.com/ebook/Keunikan_Interaksi_Islam_dan_Budaya_jawa.pdf, diakses tanggal 25 Desember 2010
[13] Ali Sodiqin, Antropologi Al-Quran,(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2008), hlm.28
[14] [14] Suwito N.S., Op.Cit., hlm. 5
[15] Ahmad Waarson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997), hlm.654
[16] Ali Sodiqin, Op.Cit., hlm. 99
[17] Ibid., hlm. 127
[18] Ibid., hlm. 135







DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.2008.Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta:Pusat Bahasa
Jawa, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa, diakses tanggal 25 Desember 2010
Munawwir,Ahmad Waarson.1997.Kamus Al-Munawwir.Surabaya:Pustaka Progresif
Ridwan, Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, Jurnal Ibda` Vol. 6 No. 1 Jan-Jun 2008
Saksono, Widji.1996.Mengislamkan Jawa Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo.Bandung:Mizan
Simuh, Keunikan Interaksi  Islam dan Budaya Jawa, dapat dilihat di http://www.heritageofjava.com/ebook/Keunikan_Interaksi_Islam_dan_Budaya_jawa.pdf, diakses tanggal 25 Desember 2010
Sodiqin, Ali. 2008.Antropologi Al-Quran Model Dialektika Wahyu dan Budaya.Jogjakarta:Ar-Ruzz Media
Suku Jawa, dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa,diakses tanggal 25 Desember 2010
Suwito N.S., Slametan dalam Kosmologi Jawa:  Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa, Jurnal Ibda` Vol. 5 No. 1  Jan-Jun 2007

No comments:

Post a Comment